INSIGHT
Makin hari luas hutan kian berkurang, setidaknya itu yang sedang terjadi sekarang di Indonesia. Deforestasi bukanlah hal yang asing bagi hutan di Indonesia. Angka penggundulan hutan di Indonesia menjadi terpesat kedua di dunia, setelah Brazil.
Setiap tahun, Indonesia kehilangan sekitar 684.000 hektar hutan akibat pembalakan liar, kebakaran hutan, perambahan hutan dan alih fungsi hutan. Tahukah kalian bahwa luas tersebut sama dengan luas pulau Bali? Sayang sekali, bukan?
Lalu, digunakan untuk apakah hutan yang sangat luas tersebut?
Salah satu industri penebang pohon terbesar di Indonesia adalah industri pulp dan kertas. Kementerian Perindustrian mengatakan Indonesia adalah produsen kertas ke-6 terbesar di Indonesia. Konsumsi kertas di Indonesia perkapita atau perorangnya dapat mencapai 11 rim atau setara dengan 11 batang pohon. Itu berarti Indonesia mampu menebang sekitar 264 juta pohon untuk pulp dan 384 juta pohon untuk kertas setiap tahunnya.
Untuk konsumsi kertas sebanyak itu, kalian akan menganggap bahwa Indonesia menjadi salah satu negara yang memiliki mutu pendidikan yang tinggi. Sayang sekali hal yang terjadi di Indonesia justru sebaliknya. Tingginya penggunaan kertas tidak berbanding lurus dengan performa pendidikan dan konsentrasi yang dimiliki oleh pelajar-pelajar Indonesia.
Faktanya, menurut survei PISA, pendidikan Indonesia menduduki urutan ke-64 dari 65 negara berkembang di dunia. Dan menurut survei PERC, kualitas pendidikan Indonesia menempati urutan ke-12 dari 12 negara di Asia. Urutan tersebut bukanlah sesuatu yang dapat kita banggakan. Terlebih dengan adanya tingginya intensitas penggunaan gadget oleh siswa, daya konsentrasi belajar siswa di kelas saat ini menurun dari sebelumnya dapat berkonsentrasi selama 30 menit menjadi hanya dalam kisaran waktu sekitar 10 menit.
Lantas untuk apa jutaan pohon yang telah ditebang selama ini, jika pada akhirnya akan tergusur di tumpukan sampah?
Rakyat Indonesia diperkirakan memproduksi sampah kertas sebanyak hampir tiga miliar rim per tahunnya. Sampah kertas tersebut telah mengisi 28% dari sampah padat yang berada di Tempat Pembuangan Akhir (TPA) dan 5% dari total sampah yang berada di Bantar Gebang, Bekasi.
Timbunan sampah yang berada di Bantar Gebang sudah tak layak lagi disebut timbunan, melainkan sebuah gunung. Bila hal tersebut belum cukup mengerikan, 2 tahun lagi, Bantar Gebang diperkirakan tidak akan dapat menampung sampah lagi.